Jumat, 16 Desember 2011

Apa yang Saya Pikirkan tentang Pernikahan?

Assalammualaikum,

Akhir-akhir ini sahabat-sahabat saya banyak yang membagi cerita tentang pernikahan, mulai dari harapan, halangan menuju pernikahan, persiapan pranikah, hingga kehidupan setelah menikah. Melalui kisah sahabat- sahabat saya tersebut lantas banyak yang saya pikirkan.

Bisa dibilang saya adalah seseorang yang sangat bersemangat menemukan hal baru, demikian pula hal nya saat orang tua saya mengijinkan saya menikah dengan lelaki yang membuat saya jatuh cinta (lagi). Namanya Wiji Kustiawan, lelaki berusia 30 tahun yang bertubuh sehat dan berwajah bulat manis. Cara dia menatap saya, cara dia mengingatkan saya dan cara dia menerima apa adanya diri saya lah yang membuat saya memutuskan memperjuangkan hubungan kami.

Ketika ijin menikah telah turun, saya yang biasanya serta merta merencanakan langkah-langkah berikutnya kini tidak lagi dapat gegabah. Menikah bagi saya cukup sekali seumur hidup saya, kecuali jika Allah menentukan lain. Maka saya harus berfikir berulang kali dan memikirkan masak-masak. Pada awalnya saya menjadi sangat mudah marah pada Mas Wiji, hal yang dia lakukan di luar ekspektasi saya membuat saya terpancing emosi.

Ditambah sehari setelah ijin turun, saya mengalami kecelakaan yang membuat kepercayaan diri saya seketika luruh dan berantakan. Saya menjadi gadis kecil yang merengek minta ditemani setiap saat, setiap Mas Wiji pamit pulang saya akan memasang wajah masam, merengek minta injury time 30 menit lagi. Kebanyakan sih dia tidak mengabulkan dan saya akan tampang muka kecut. Tetapi masih cinta lah yaaa... hehehe..

Back to our main topic,Saya terlahir sebagai anak sulung di keluarga, kedua adik saya masih kuliah di semester awal, kondisi perekonomian keluarga saya alhamdulillah cukup untuk kami sehari-hari. Meskipun rumah kami masih menyewa tapi alhamdulillah kami punya tempat berteduh dan Allah selalu memudahkan rejeki pada waktunya.

Saat ini sebagai satu-satunya pekerja di rumah saya, maka saya bertanggung jawab terhadap keberlangsungan pendidikan adik-adik saya demikian juga memenuhi kebutuhan orang tua saya sebagaimana beliau mencukupi kebutuhan saya ketika saya kecil.

Seorang teman saya bercerita pada saya, dimana saya harusnya menyegerakan menikah karena sudah ada calon yang pas, calon yang siap sedangkan teman saya yang berusia hampir seumuran Mas Wiji (teman saya wanita) kesulitan menemukan jodoh padahal ingin segera menikah.

Ya, memang saya sangat ingin menikah, ingin menghalalkan hubungan kami agar tak menimbulkan fitnah. Terlebih sejak kecelakaan ini saya jadi lebih sering introspeksi diri, betapa saya kerap kali melupakan shalat lima waktu ketika bersama dengan Mas Wiji. Astaghfirullah... 
Lalu saya sadar, hubungan kami seharusnya membuat kami semakin dekat dengan Allah, bukan semakin membuat Allah cemburu. Sungguh perkara mudah bagi Allah untuk menjauhkanku dari hal yang membuatnya cemburu.

Keinginan menikah yang begitu besar ternyata tidak berbarengan dengan kesiapan saya.
Saya memperhatikan bagaimana Mama saya dapat bersosialisasi dengan warga sekitar tanpa meninggalkan kewajiban mengurus rumah tangga. Itu bukan perkara mudah.
Mudah jika saya membayangkan saya akan bangun pagi hari, memasak, mengantarkan suami saya atau kami berdua berangkat kerja bersama, pulang sebelum suami saya pulang, menyiapkan makan malam, belum lagi mengurus anak, membersihkan rumah dan sebagainya...
Sungguh bukan perkara mudah, bisa jadi semua akan keteteran. Tapi semua memang melalui proses belajar.

Saya juga belum punya bekal cukup agar nanti bisa jadi istri yang baik, modal yang saya miliki untuk menjadi calon ibu yang baik juga rasanya belum ada. Ya, saya suka anak kecil tapi memastikan anak saya nantinya dapat tumbuh dan berkembang di lingkungan yang baik, menjadi anak yang shaleh dan berpendidikan serta berwawasan luas itu lagi-lagi bukan perkara mudah.

Benar, hal demikian bisa jadi hanya kekhawatiran saya semata. Semua akan lancar ketika dijalani. Tetapi ada satu hal yang membuat saya benar-benar berfikir.
Saya merasa belum cukup membalas budi kedua orang tua saya.

Ketika saya menikah, saya akan lepas dari kedua orang tua saya. Membayangkan meninggalkan kedua orang tua saya di tengah permasalahan yang ada saat ini membuat saya berat. Saya harus memastikan orang tua saya memiliki kediaman tetap sebelum saya meninggalkan kedua orang tua saya. Saya juga harus memastikan bahwa perencanaan keuangan saya setelah menikah memuat pemenuhan terhadap keberlangsungan pendidikan kedua adik saya.

Mengingat bagaimana kedua orang tua saya merawat saya saat saya tidak bisa berbuat apa-apa saat kecelakaan, mengingat Mama yang tidak bisa tidur selama saya menggeliat kesakitan meskipun tengah malam dan melihat rona kecemasan ayah saya yang nekat ke rumah mempersiapkan alat bantu saya makan dan minum sekalipun itu hal yang membahayakan bagi dirinya, membuat saya tidak mampu menahan bendungan air mata saya.

Seumur hidup saya bahkan rasanya tidak mampu membalas kebaikan orang tua saya.
Bahkan orang tua saya mengikhlaskan saya menikah tanpa meminta saya memastikan kediaman bagi beliau, justru meminta maaf atas ketidakmampuan beliau membantu pernikahan saya nantinya.
Sungguh bagi saya, pesta pernikahan saya tidak akan meminta dari orang tua saya, sudah mewah bagi saya jika saat itu ayah saya dapat hadir menjadi wali.

Pesta pernikahan adalah ujian awal mengatur keuangan bersama pasangan, saat saya berani menikah maka saat itu adalah titik awal saya mandiri seutuhnya. Pernikahan itu untuk saya dan pasangan, sekalipun saya pihak wanita saya tak akan memaksakan diri mengadakan pesta mewah. Saya hanya ingin pesta pernikahan islami yang sederhana namun meriah. Hehehehe.. kan kerabat serta teman saya banyak.. kalau di gedung mahal dan nggak muat ya saya usulkan resepsinya di Lapangan Bola Gelora 10 Nopember aja... :D

Ya, harusnya kita memang berlomba-lomba dalam kebaikan, berlomba-lomba mencari pahala termasuk menyegerakan menikah. Tetapi saya harus memikirkan bahwa perbedaan antara menyegerakan menikah dan tergesa-gesa menikah itu sangatlah tipis.

3 komentar:

  1. benar. semua itu gak mudah, apalagi di usia yg dpt dikatakan sangat muda.
    saya jd galau, mengingat persoalan saya sendiri, mengetahui kenyataan bahwa tiap diajak ngomongin masalah "itu" saya selalu terserang mules :D
    membuat saya memitigasi utk ngobrol dg cara yg lbh santai, tp lagi2 kenyataannya membuat pria itu jd mengira saya tdk serius...hahahaha

    intinya, saya setuju, ini saatnya anda, saya, dan wanita2 muda lainnya utk belajar lbh banyak, luas, mengenai tanggung jawab ibu sekaligus wanita karir maupun "hanya" ibu rumah tangga

    BalasHapus
  2. "Sungguh bagi saya, pesta pernikahan saya tidak akan meminta dari orang tua saya, sudah mewah bagi saya jika saat itu ayah saya dapat hadir menjadi wali." >> kalimat ini membuat mataku diterpa tsunami. ^_^

    Salam kenal tiar, seharian ini aku habiskan membaca catatanmu. Aku suka caramu bercerita, dan lelaki sederhanamu itu.

    Thank's sudah berbagi cerita.

    BalasHapus
  3. Terimakasih fika, terimakasih mbak vina.. sudah mampir dan mnyempatkan membaca. Semoga bermanfaat, terkadang tulisan saya juga berisi hal-hal tidak penting meluapkan emosi :)
    Semoga yang tidak baik jangan ditiru dan dilakukan ya... :)

    BalasHapus