Rabu, 01 Februari 2012

Menerima Apa Adanya Itu Tidak Mudah, Kawan

Saya sedang PMS, Pre Menstrual Syndrom. Bukan secara physically tapi secara emosional. Saya ingin dimanja, ingin lebih diperhatikan dan lebih sering memiliki waktu spesial berdua dengan pasangan.

Tapi ketika pasangan saya sedang sibuk dengan pekerjaannya dengan alasan auditor mau memeriksa, saya paham. Secara ketika instansi saya didatangi auditor kami pun begidakan mengumpulkan berkas-berkas. Saya bisa mengalah, mengisi waktu saya dengan kegiatan lain. Mengalihkan emosi PMS saya yang tidak tersalurkan kepada sandsack dan target.

Tetap saja saya merasa kehilangan, seringkali ketika dia tidak sibuk saja dia sudah cukup percaya saya bisa mandiri (baca: cuek) apalagi ketika dia sibuk. Jarang bertatap muka ditambah dengan minimnya komunikasi sekalipun kami terhubung dengan berbagai media komunikasi, membuat saya semakin senewen. Kami bertemu hanya dalam kegiatan tertentu, bukan waktu spesial yang saya harapkan hanya ada saya dan dia.

Saya sudah merajuk, sudah memohon bahkan bisa dibilang mengemis. Sampai nangis juga dia tidak mengabulkan permintaan saya karena banyak pekerjaan. Lantas bagaimana perasaan saya ketika saya berharap weekend ini punya waktu bersamanya justru dia meluangkan seharian waktunya bersama teman-temannya dan tidak mengacuhkan keinginan saya?

Saya sakit hati, merasa tidak diinginkan, merasa diabaikan, merasa tidak berarti bagi dia. Saya terdiam sepanjang perjalanan kami, dia bilang pekerjaan akan diselesaikan sebelum Sabtu agar bisa menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Bukan dengan saya,tidak untuk saya.
Kejadian ini sudah beberapa kali terulang, setiap saya protes, marah, ngomel dan diam dia selalu meminta maaf dan termaafkan.

Tapi kali ini, karena hormon saya sedang labil, keinginan saya diabaikan, saya butuh perhatian dan tidak mendapatkannya, saya ingin waktu untuk kami berdua juga tak terkabul, maka saya memutuskan diam.

Mungkin memang demikianlah dia, yang tidak benar-benar paham keinginan saya. Saya hanya ingin dimanja, diperhatikan, saya ingin bercanda dengan dia yang hanya terwujud kalau kami hanya berdua. Saya senang memiliki waktu berdua dengan dia, saya jadi bisa melihat tertawanya yang lepas karena saya, dia bisa bertingkah lucu tanpa malu di depan saya. Itu hanya terwujud di waktu kami hanya berdua. Karena itu aku membutuhkan waktu istimewa itu. Tapi rupanya dia memang demikian adanya.

Dulu saya uring-uringan karena dia lebih sering bertemu dan perhatian pada teman- temannya, lantas dia mengenalkan saya pada teman-temannya, tapi itu juga tidak berarti dia dapat mengabaikan saya. Memang minggu lalu dan minggu ini dia sering mengajak saya bertemu dengan teman-temannya, tapi itu jelas berbeda dengan waktu jalan-jalan, makan,nonton,atau kegiatan lain berdua saja. Hal yang sudah sebulan ini tidak pernah lagi kami lakukan.

Bukan berarti mengajak saya bertemu teman-temannya sama dengan dia meluangkan waktu untuk saya, itu jelas berbeda. Saya menikmati saat-saat saya berbincang dengan teman-temannya, bercanda dan tertawa bersama teman-temannya tapi saya juga membutuhkan keberadaan dia secara personal juga.

Saya lelah berulang kali protes, marah dan ngomel tentang cara dia membagi waktu bagi hubungan kami. Mungkin memang demikianlah dia, dan saya harus memendam perasaan ini entah sampai kapan dan sekuat apa.

Saya menyayanginya, teramat sangat. Hal yang membuat saya dengan mudah memaafkannya. Saya mencintai juga teramat dalam. Tetapi menjaga perasaan itu tetap butuh maintenance, bukan berarti kami telah menjalin hubungan serius lantas saya tidak butuh perhatian, waktu dan pujian.

Kali ini saya harus kembali realistis, laki-laki takkan berubah. Saya harus menerima dia apa adanya, kalau tidak sanggup berarti saya harus mengikhlaskannya. Saya tidak mau menjadi wanita yang memendam perasaan tidak suka terus-menerus lantas selingkuh dengan orang lain yang sanggup memberikan saya perhatian, pengertian,waktu dan pujian.

Cinta itu tidak buta, hanya kita yang terlalu nyaman menutup mata di dalamnya. Ini waktu bagi kami untuk evaluasi diri masing-masing. Apakah saya yang terlalu banyak menuntut atau dia yang memang "lupa" bahwa dia yang memutuskan memiliki saya sebagai bagian dari hidupnya? Juga apakah masing-masing dari kami sudah siap menerima sifat dan perilaku pasangan masing-masing? Saya pribadi tidak siap dan takkan pernah mau diperlakukan begini.


*rasanya lega sudah bisa menuangkan kejujuran lewat tulisan tanpa bermaksud menyalahkan, menyakiti, mengintilidasi orang lain. Rasanya lega meneteskan air mata dan sesenggukan menangisi perasaan saya kali ini.

Jika memang berjodoh,mudahkan kami saling mengisi dan memahami, jika tidak berjodoh maka mudahkan hati kami untuk ikhlas..