Jumat, 21 Maret 2014

Aku dan Jilbabku dari Waktu ke Waktu

Assalammualaikum,

Tiga hari menjelang Ramadhan tahun 2008 hatiku gelisah. Tidurku tak nyenyak. Aku seringkali mengambil jilbab koleksiku yang hanya satu dua, lalu mematut diri dalam cermin. Namun mengingat dosa-dosaku, tingkah laku dan cara bicaraku yang sering ceplas ceplos membuatku mengurungkan niat, meletakkan kembali jilbab-jilbab itu ke bagian lemari paling dasar.

Hari berlalu dan aku semakin gelisah. Di malam menjelang Ramadhan, usah shalat Tarawih pertama, aku pun mengajak teman kosku untuk ke salah satu pusat perbelanjaan di Surabaya. Aku mencomot beberapa jilbab praktis, masih yakin bahwa aku tidak bisa menggunakan jilbab segiempat dengan rapi, dan membeli beberapa manset serta pakaian yang panjangnya hampir selutut.

Semalaman aku mencoba-coba barang belanjaanku, mematut diri depan cermin dan tersenyum bahagia. Gelisah seketika sirna. Mungkin inilah yang disebut Hidayah.

Esok harinya, aku mantap ke kampus menggunakan celana jins, manset hitam dan pakaian sepanjang lutut dengan jilbab praktis yang pendek. Hari pertama Ramadhan dan sebagian temanku mengatakan "Tiar, edisi Ramadhan ya?" Aku hanya tersenyum dan berlalu. Belum lagi olok-olok bahwa aku yang "titisan Jahiliyah" ini tidak pantas menggunakan jilbab, bahkan seringkali dibilang lebih cantik tanpa jilbab. Atau kalimat "Tiar kamu jadi aneh deh, jadi nggak asik lagi" tiap kali aku menolak ajakan mereka melakukan kebiasaan-kebiasaan lama.

Beberapa bulan berjilbab dengan jilbab praktis pendek, jilbab segi empat yang ditekuk segitiga dan tidak menutup dada, masih menggunakan celana jins ketat, pakaian ketat dan bersikap semaunya berinteraksi dengan lawan jenis. Aku pun memutuskan menggunakan rok panjang dan menjulurkan jilbab menutupi dada. Perubahan cara berpakaian ini ternyata berimplikasi pda sikapku, aku lebih anggun dan lebih halus bertutur kata. Malu, malu kalau sudah berjilbab begitu eh sikapnya masih semaunya.

Itupun jadi pro kontra, perlahan teman-temanku menjauh. Sahabat-sahabatku masih dekat, mendukung hijrahku. Fase berikutnya aku yang shalat sering terlambat dan sering bolong (Astaghfirullah) mulai rajin. Aku yang sudha bertahun-tahun tidak menyentuh Al-Quran mulai memberanikan diri belajar ke rekan-rekan di TPA tempat aku mengajar tiap sore. Pagi diantara jadwal kuliah, aku belajar kelas hafalan dan tajwid. Aku lemah hafalan surat-surat pendek, juga tiap mengaji aku tak tau mana Ikhfa, mana Iqlab. Sore hari aku sengaja mengosongkan jadwal kuliah karena setiap pukul 4 sore menjelang Maghrib aku menjadi tenaga pengajar di TPA tersebut. Mengajar baca Iqro, memberikan story telling  dan kadang-kadang membuat games. Anak kecil itu selalu mempesona di mataku, aku senang berada dekat mereka dan yang membahagiakan adalah ketika mereka berebutan menggelayut di pundak dan leherku lantas menghujaniku dengan kecupan singkat di pipi.

Selama setahun menimba ilmu di TPA yang berlokasi di masjid kampus, aku pun lulus kuliah. Bekerja mulai pukul 8 pagi hingga pukul 16.30 dengan jarak tempuh rumah kantor sekitar 20Km membuat saya tak punya kesempatan mengunjungi TPA itu lagi. Kegiatan kantor dan aktivitas lain otomatis menyedot perhatian, tenaga dan waktuku. Lupakan gamis dan rok panjang, karena naik motor ke lokasi kerja membuatku sulit menggunakan rok. Maka aku kembali berjilbab pendek, bercelana kain dan bertingkah laku tak terkendali lagi. :(

Alhamdulillah, tidak lama Allah membiarkan sikapku menjadi begitu tak terkendali, setahun kemudian aku kecelakaan. Kecelakaan hebat yang membuatku menerima kenyataan gigiku tanggal dan bibirku menerima 19 jahitan. Percayalah, ketika maut begitu dekat di hadapanmu kau akan berdoa meminta keselamatan dengan sungguh-sungguh. Itulah yang terjadi, aku merasa ini adalah kesempatan kedua aku menghargai waktuku di dunia.

Motor bebekku dijual, aku membeli motor Matic yang membuatku lebih leluasa menggunakan Gamis ke kantor. Kadangkala rekan kantorku menggodaku " Mau kondangan ya Tiar, pakai gamis terus..." aku tersenyum dan berlalu. Ingat hari-hari pertama berjilbab di kampus dulu.

Lalu aku kembali dekat dengan seseorang, sebut saja namanya Imam (semoga nanti Imamku sebaik dia,amin) tutur katanya begitu halus, tidak menyakiti, dan sangat sopan. Mendapati ada seorang lelaki yang sedemikian terjaga akhlaknya, aku jadi semakin termotivasi memperbaiki diri agar berjodoh dengan sebaik dia. Maka aku mulai mendaftar kelas-kelas pengajian. Sebelum bernagkat kantor aku kelas mengaji Quran. Selepas kantor aku mengikuti kajian-kajiannya. Namun hanya bertahan 2 bulan, selanjutnya aku hijrah ke Ibukota.

Di Ibukota, aku lebih sering menggunakan celana kain di awal-awal bekerja. Weekend pun aku memilik menggunakan celana jins dengan alasan aku takut kalau ada tindak kejahatan dan aku tak leluasa membela diri jika menggunakan rok atau gamis. Nyatanya aku tak merasa nyaman. Urat maluku berontak aku masih menggunakan pakaian-pakaian tersebut. Pula awalnya aku khawatir tidak bisa membaur dengan lingkungan kantor yang baru, Jakarta gitu loh...

Di benakku, yang namanya kantor Jakarta pasti berisi orang-orang stylist berpakaian modis dan berhijab unik-unik. Tapi rupanya aku salah, di seksiku ini ada dua orang muslimah. Bu Asmiah dan Mbak Septi. Bu Asmiah selalu mengulurkan jilbabnya menutupi dada, Mbak Septi justru selalu menggunakan rok dan berjilbab cantik hingga pinggang. Maka pemikiran bahwa di Jakarta sulit Syar'i itu luluh lantak, aku pun memperbanyak koleksi rok, alhamdulillah rok di Jakarta murah-murah, bagus pula bahannya adem :) Jadi kepikiran mau dijual lagi, hehehe... :)

Aku pun mulai belajar memperhatikan mbak-mbak muslimah lainnya, bagaimana mengakali jilbab paris yang tipis agar tebal yaitu dengan didobel-in dengan jilbab segi empat lain yang ukuran sisi-sisinya lebih kecil.

Sekarang aku merasa nyaman berjilbab minimal menutupi dada, kadang jika bajuku terlalu ketat (atau badanku yang telalu besar :) ) maka aku mengulurkan jilbab ku sampai ke pinggang. Harus pandai-pandai menutupi lekuk tubuhku yang bisa dibilang "bulat penuh" ini.

Aku akui, tak mudah bagi kita untuk menjadi muslimah yang sempurna akhlak dan ilmunya. Mengajiku dan hafalan suratku masih payah, sikapku dan tertawaku kadang diluar kendali, apalagi ilmu masih sangat cetek. Tapi kita selalu punya waktu untuk memperbaiki diri, punya kesempatan untuk terus belajar. Aku juga akui bahwa "Hijrah" ini tidak murah. Menyingkirkan pakaian-pakaian jaman dulu mulai dari dress-dress impor, baju-baju bermerek dan koleksi aksesoris kesayangan itu sayang banget karena harganya yang selangit. Lantas tiba-tiba memperbarui lemari dengan pakaian-pakaian rok, baju panjang, jilbab-jilbab tebal (yang lebih mahal daripada jilbab berbahan paris yang tipis) itu juga tidak murah tentunya.

Tapi percayalah, dengan sedekah semua akan dipermudah. Perlahan-lahan diperbanyak koleksi bajunya yang lebih menutup aurat, berlatih berjilbab yang rapi, belajar memadupadankan pakaian agar enak dilihat, jangan lupa selalu tersenyum sebagai penghias penampilan kita.

Bagi yang belum berjilbab, apapun alasan kalian aku tak menyalahkan. Aku cuma bisa bilang, sikapku dulu juga tak berbatas bandelnya, justru dengan berjilbab akhirnya sikapku lebih terjaga, aku lebih mudah belajar agama karena malu sama jilbabnya kalau tidak bisa menjawab pertanyaan seputar Islam yang ditanyakan rekan-rekan lain, aku juga merasa lebih tenang dan tentram karena penampilanku tak lagi menjadi pusta perhatian kaum Adam.

Sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah wanita shalehah, tapi kadang wanita juga menjadi fitnah yang keji, maka jadikan Jilbabmu sebagai pelindungmu.

Wassalammualaikum.

:)

0 komentar:

Posting Komentar