Kamis, 20 Februari 2014

Jalan Hidup

Assalammualaikum,

Tahukah kalian teman, bahwa kenangan itu mudah hilang bila kita tak meninggalkan jejak lewat tulisan. Maka tulisan ini saya buat sebagai cara saya senantiasa bersyukur, pengingat dikala hati saya lemah dan memotivasi teman-teman sekalian. Tidak ada maksud pamer, riya' dan sebagainya. Semua yang terjadi atas kuasa Allah.

Bismillah,

24 tahun lewat beberapa bulan lalu saya dilahirkan di keluarga kecil sebagai anak sulung, keluarga saya hidup berkecukupan. Ayah saya seorang wiraswasta sukses dengan pelanggan yang selalu tersenyum puas. Ayah saya sangat pandai, jenius, saya dan mama seringkali memanggil beliau Mc Gyver (tokoh yang banyak akalnya). 
Adik pertama saya lahir dua tahun kemudian, berselang satu tahun adik kedua saya lahir. Cobaan pun datang, kami meninggalkan kehidupan kami yang berkecukupan. Kami mengontrak rumah dari satu rumah ke rumah lain.

Saya masih ingat betul saat itu, ketika kami harus angkat kaki mencari tempat lain yang harga sewanya lebih mampu kami bayar. Saya berjalan kaki digandeng ayah sedangkan mama dan ayah saya masing-masing juga menggendong adik-adik saya yang kepanasan. Adakah orang tua saya mengeluh? tidak. Apakah orang tua saya membiarkan saya kelaparan? tidak. Mama dan Ayah saya adalah orang tua luar biasa.

Kami tinggal di rumah kecil, kami tidur beralaskan tikar. Bila hujan datang maka rumah kami kebanjiran. Adik pertama saya akan tidur di pangkuan mama, adik kedua atau si Bungsu akan tidur di pangkuan ayah, dan saya tidur bersandar tembok diantara mama dan ayah agar tak kedinginan. Apakah Mama dan Ayah saya tidur? tidak. Beliau senantiasa terjaga, kalau-kalau banjir terlalu tinggi atau atap yang bocor mengganggu tidur kami.

Saya masuk TK, orang tua saya sedari dini memprioritaskan kualitas pendidikan bagi anak-anaknya. Di TK saya dikenal pandai membaca, bahkan usia 5 tahun saya membaca koran dengan lancar lantas menceritakannya kembali di depan kelas. Untung saja bukan berita aneh-aneh :) Kepala Sekolah, langganan jasa wiraswasta Ayah pun melaporkan bakat ini pada Ayah. Kalian tahu apa yang dilakukan oleh Ayah saya? Beliau menyisihkan uang hasil kerja beliau untuk membelikan saya majalah Bobo setiap minggu.

Aduh, majalah anak-anak itu sejak dulu tidak murah bagi kami. Tahu apa saya bahwa Mama saya pernah berkata pada Ayah : "Kita tidak punya uang Ayah, kita puasa saja ya Senin-Kamis, uangnya untuk beli Majalahnya Tiar" . Ya Allah... Sayangilah kedua orang tuaku seperti mereka menyayangiku...

Saya masuk SD, adik-adik saya mulai TK. Adakah orang tua saya mengeluh biayanya? Tidak. Alih-alih mengeluh, beliau malah memasukkan kami ke sekolah-sekolah terbaik di lingkungan kami. Kehidupan perekonomian kami membaik, rumah kontrakan kami lebih besar dari sebelumnya. 

Di SD sejak kelas 1 saya selalu menduduki peringkat pertama. Rapor saya tak bercela, semua nilai sempurna. Saya selalu pulang membawa piagam penghargaan. Pernahkah orang tua saya memuji saya? Tidak. Beliau tak pernah memuji saya di depan saya. Tapi percayalah, setiap ada pertemuan keluarga atau bertemu teman-teman, beliau tak pernah absen memanggil saya : "Gadis Kecil Kebanggaan Ayah". 

Sejak penerimaan raport pertama kali di bangku SD, orang tua saya meminta saya mengajak teman-teman sekelas belajar bersama di rumah. Gurunya? hehehhe, tentu saya sendiri. Orang tua saya mengajarkan berbagi ilmu. Memberitahu bahwa tidak ada anak bodoh di dunia ini asalkan mau belajar. Rumah kami sempit, bahkan rasanya tak mungkin belasan teman saya berjejalan di ruang tamu. Tahukah kalian? Mama Ayah saya kembali menyisihkan uang untuk membeli karpet, teras rumah kontrakan kami pun jadi tempat belajar yang menyenangkan. 

Kami tiga bersaudara berasal dari keluarga pas-pas an, dengan biaya pendidikan yang tidak murah, tapi setiap malam ketika beberapa teman saya datang dan belajar, orang tua saya selalu menyuguhkan hidangan kue-kue dan minuman. Orang tua saya mengajarkan kami untuk memuliakan tamu. 

Selama sekolah SD, saya berangkat ke sekolah menaiki sepeda dan membawa termos es lilin. Mama saya lulusan Sarjana Perguruan Tinggi ternama, ayah saya belum seberuntung itu tapi saya pastikan kalian akan tercengang melihat nilai raport sekolah ayah saya. Mama saya justru memilih menjadi Ibu Rumah Tangga, meninggalkan pekerjaan di salah satu perusahaan Asuransi yang di awal cerita membuat kami sekeluarga hidup berkecukupan. 

Setiap berangkat sekolah, saya akan menitipkan termos es itu di kantin. Sepulangnya saya akan membawa termos kosong pulang, lalu mengisinya lagi dan mengantar ke kantin untuk anak-anak kelas siang. Malu? Ah, orang tua saya mengajarkan saya bahwa semua pekerjaan itu mulia sepanjang kita jujur melakukannya. Bahkan saya tanpa malu-malu menawarkan es lilin buatan mama saya ke kantin-kantin SD lain. Amboi, bakat marketing saya dimulai sejak SD. :D

Orang tua saya cukup keras mengenai prestasi, dan mengawali raport dengan peringkat 1 itu adalah bencana. Karena begitu nilai raport saya dibawah 9, maka tamatlah liburan saya. Majalah bobo saya akan ditahan beberapa edisi. Aduh, rumit jadinya. Orang tua saya juga menerapkan peraturan dilarang nonton TV dan melakukan hobi di hari Senin-Sabtu sore. Saya jadi terbiasa disiplin.

Saya melihat Mama yang sangat kreatif, akhirnya saya pun mulai mencari cara memperoleh penghasilan. Saya berjualan manik-manik, dimulai dari modal lima ribu rupiah sampai mendapatkan omzet ratusan ribu setiap minggunya. Bagi anak SD kelas 5 itu penghasilan yang luar biasa, saya mulai diajarkan menabung. Tabungan ini yang saya gunakan untuk melanjutkan sekolah.

Adik-adik saya, wah jangan tanya. Mereka berdua tumbuh jadi anak-anak berbakat. Kami saling membela, saya bertengkar dengan teman lelaki yang menghina profesi ayah saya, maka si Jagoan adik Pertama yang maju dengan body gempalnya. Giliran si Bungsu dipukul atau dianiaya lahir maupun batinnya, maka Kakak Perempuannya ini yang maju, berlari kencang mengejar, menghadiahkan bogem mentah dan secara brutal memukuli mereka yang berani menyakiti adik-adikku. Dipanggil kepala sekolah? Sayangnya prestasi saya yang selalu membawa nama baik sekolah ke berbagai perlombaan dinilai tidak patut diberi embel-embel "preman sekolah" hehehehhe.... Kan saya membela harga diri dan kehormatan keluarga :D

Kondisi perekonomian kami membaik, saya bersekolah di SMP Negeri, beruntung adik-adik saya pun diterima dengan nilai memuaskan di sekolah-sekolah Negeri terbaik di kota kami. Setidaknya kami terhindar dari momok sekolah swasta dengan biaya pendidikan mencekik.

Saya lulus dengan nilai terbaik, melanjutkan sekolah di SMA Negeri favorite yang terkenal dengan prestasi membanggakan. Aktif di berbagai kegiatan. Saya pun akhirnya kembali menorehkan prestasi akademis dan non akademis. Mulai juara lomba debat, lomba PMR, lomba Karya Tulis Ilmiah, Lomba Majalah Dinding dan Lomba Tae Kwon Do hingga sebagai lulusan terbaik dengan nilai nyaris sempurna.

Saya pun diterima di salah satu sekolah kedinasan yang harus dilepaskan demi Orang Tua, sebuah musibah menimpa keluarga kami. Sebuah kesalahan besar juga aku lakukan.

Saya pun melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, sebagian besar dari beasiswa. Mulai dari Beasiswa internal kampus sampai beasiswa dari luar. Setiap hari saya ke kampus membawa barang dagangan, selain jualan jilbab, aksesoris dan menyewakan buku saya juga consultant oriflame. Heheheh... Jangan tanya deh, sepanjang dosen menerangkan di depan, selama itu pula saya mengedarkan barang dagangan. Di akhir kuliah, sebagian besar teman-teman akan ke meja saya melakukan pembayaran.

Ilmu dapat, uang dapat. Hehehehhe...

Bukan berarti nilai saya merosot, saya masih menjadi mahasiswa berprestasi tahun 2010 dan 2011. Saya pun lulus dengan predikat cumlaude meski Ayah saya tak bisa hadir karena malamnya mengalami kecelakaan.

Kedua adikku melanjutkan kuliah di Universitas Brawijaya. Tiga orang anak kuliah bersamaan tentu membuat perekonomian kami lagi-lagi tersedot untuk biaya pendidikan. Belum lagi adik bungsu saya menderita tumor tulang dan harus segera dioperasi. Saat itulah saya memutar otak untuk tetap kuliah. Mengajukan kredit di Bank yang bekerjasama dengan Universitas Airlangga dan menjadikan Ijazah SMA sebagai jaminannya. Hehehehe...

Lantas saya bekerja sebagai honorer di Kementerian Pekerjaan Umum, dengan gaji jauh dibawah UMR, tapi THP alhamdulillah cukup. Kadang harus pulang hingga jam 12 malam karena lembur seorang diri. Ketika weekend saya bekerja sebagai perias yang harus menyalakan kendaraan roda dua bahkan sebelum mentari menyapa bumi. Lantas pulang dan berangkat ke tempat lainnya lagi.
Sungguh, rejeki Allah tak terkira.

Kehidupan ini menempa saya dan keluarga saya sedemikian rupa. Menjadikan kami pribadi yang tangguh dan tak kenal menyerah. Saya beruntung memiliki Ayah yang bijaksana dan Mama yang religius, juga kedua adik yang selalu saling support. Saya belajar bertanggung jawab, bekerja dengan hati dan memberikan porsi khusus untuk berhubungan dengan pemilik alam raya.

Kini saya sedang di Ibukota, merantau selama magang. Semakin kesini cobaan akan semakin berat.
Semoga tetap amanah mengemban tugas sebagai abdi negara.

Jalanku masih sangat panjang.

1 komentar:

  1. Bacanya sambil tahan napas mbak Tiar... Luar Biasaaa.... !!! secara gak langsung menularkan semangat. semoga semua urusan lebih dimudahkan :)

    BalasHapus