Kamis, 05 Maret 2015

Become His Bride


Bismillahhirrohmannirrohim...

Agustus 2008 saya mengenalnya sebagai lelaki tampan, gagah, berwajah bersih, berhidung mancung, suaranya menenangkan dan luar biasa mempesona. Apalah yang dilihat gadis berusia 19 tahun saat itu selain tampilan fisik. Bahkan saat itu juga saya bertekad memiliki suami seperti dirinya yang putih, tinggi, bersih, ganteng dan sopan. Seketika jatuh hati, ribut berbincang tentang dirinya tapi tiap kali bertemu bukannya berusaha tampil mempesona, aku malah sering muncul dengan cara memalukan di sekitarnya.

Misalnya saja saat salah seorang anggota menwanya, FYI dia adalah komandan satuan Menwa di kampusnya, ada yang terkilir. Karena selalu teringat janji PMR bertahun-tahun lampau bahwa saya berdosa bila tidak menolong seseorang yang membutuhkan pertolongan padahal saya punya kemampuan untuk menolog maka saya mengambil minyak urut dan mulai memijat kaki korban (eyaaaa...). Lalu sang lelaki pujaan hati berdiri tak jauh dari saya, bersandar pada salah satu tiang pendopo pantai Parangtritis.

"Enak ya dhik, habis gitu saya ya..."
Saya menoleh sekilas, pipi saya bersemu merah. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Namun naas, entah karena saya grogi atau apa saya malah menjawab "Ndak Mas, bukan muhrim"
Sepersekian detik setelah saya menyelesaikan kalimat saya, saya melihat kaki korban yang berbulu keriting halus itu... si Korban cekikikan dan saya merasa malu luar biasa karena yang sedang diurut ini laki-laki!!! Tiar, kamu muna'!!!

*Kisah saat itu bisa dibaca di sini *


Beberapa kali dia menangkap basah saya sedang membuntutinya, membicarakan tentang dia bersama anggota- anggotanya yang sekamar dengan saya selama kegiatan nasional itu berlangsung. Dia tersenyum begitu baik, tak pernah merendahkan, tak pernah pula mempermalukan. Meski pada beberapa hari terakhir, saya harus patah hati karena dia semakin dekat dengan seorang wanita berjilbab yang anggun dan kurus *huh*.

Berbilang tahun setelahnya, pada 2013 akhir, kami bertemu kembali di Bandara Ahmad Yani Semarang. Dia terlambat menemui saya, seandainya saya tak mengingatnya sebagai sosok yang begitu sopan, lembut dan pernah jadi suami idaman saya, saya pasti sudah hengkang dari restoran tempat saya makan bakso dan jus alpukat saat itu.

Tiba-tiba dia sudah di depan saya, menolak menemani saya makan tapi segera membawa tas saya dan membonceng saya naik motor ke Jepara. Dia masih mempesona, sama tampannya seperti yang terakhir saya ingat, tapi kali ini dia tampak lebih dewasa.

Hari-hari kami lalui hingga di suatu malam, dia mencegah saya untuk beranjak tidur. Duduk di hadapan saya dengan gelisah lantas meminta saya agar bersedia menjadi istrinya. Ah, mengingat malam itu rasanya hingga kini badan saya masih gemetar bahagia. Berjam-jam setelahnya kami terlibat dalam pembicaraan serius, sebelum dia meneguhkan niatnya untuk memperistri saya, saya utarakan segala resiko yang mungkin kami hadapi. Paling utama adalah resiko tidak bisa tinggal serumah karena pekerjaan saya sebagai PNS instansi yang merata mutasinya.

Dia membesarkan hati saya bahwa hal itu hanya sementara. Dia meyakinkan saya bahwa segalanya akan baik-baik saja. Dia pun bersungguh-sungguh ketika mengatakan akan selalu mendampingi saya. 19 April 2014 silam saya mengiyakan keinginananya menikahi saya tahun depan. Waktu yang dia butuhkan untuk memastikan dia dapat menjadi imam yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarga dan memberikan nafkah bagi saya.

Awal tahun 2015, kami menuliskan harapan - harapan kami, menuliskan syukur kami sepanjang tahun 2014 dan misi kami mewujudkan pernikahan di tahun ini. Maka pada bulan Januari di pertengahan dia pun datang menemui ayah saya, mengutarakan niatnya untuk menikahi saya. Alhamdulillah, gayung pun bersambut. Ayah saya menyetujui pernikahan kami, menantikan orang tuanya datang ke rumah.

Februari 2015 akhirnya orang tua Mas datang ke rumah. Ayah saya menyambut dengan suka cita, bagaimana tidak, Ayah saya melihat kedua orang tua Mas sangat sayang dan perhatian kepada saya. Maka Ayah menyetujui untuk menikahkan kami pada bulan September 2015.
Alhamdulillah, begitu banyaknya kemudahan dalam proses kami. Padahal sebelumnya kami mencemaskan segala kemungkinan - kemungkinan buruk yang akan terjadi.

Maret 2015 diadakan pertemuan kedua orang tua kami di Jepara.
Pada saat inilah akhirnya diputuskan, demi menjaga kehormatan hubungan kami berdua, maka pernikahan kami dipercepat.

Subhanallah...
Saya dan calon suami tidak menyangka akan secepat, semudah dan semulus ini perjalanan kami menuju pernikahan.

Alhamdulillah.. tak lama lagi tunai janji calon suamiku untuk menikahiku tahun ini, sungguh - sungguh "tahun depan" seperti yang dijanjikan...


0 komentar:

Posting Komentar