Hampir
dua tahun memakai bracket untuk mengembalikan bentuk gigi yang salto
setelah kecelakaan, gigi depan dipasang gigi palsu lantas ditahan dengan
bracket.
Setiap kali kontrol saya selalu mengeluh tentang gusi
di bagian gigi palsu saya yang tidak nyaman. Mungkin saya memang tahan
sakit, jadi hanya terasa tidak nyaman. Namun sang dokter hanya tersenyum
dan mengatakan itu sudah biasa.
Lantas saya
pindah ke Jakarta, sebuah kota yang menjanjikan masa depan lebih baik
InshaAllah, gusi saya bengkak dan berwana kemerahan. Saya khawatir kalau
melihat luka, maka saya segera menemui dokter gigi spesialis yang tak
berhenti "mengomel" cara sang dokter di Surabaya menangani kasus saya.
Saya lantas bertanya solusinya, oh ayolah dokter mengeluh tak membuat gigi saya membaik.. mari kita bicarakan penyembuhannya.
Maka dilepaslah bracket dan gigi palsu itu. Darah mengucur dari gusi.
Sang dokter menawarkan untuk memakai gigi palsu yang lama untuk
sementara sampai gusi tidak bengkak dan cetak gigi terbaru.
"Kalau saya ompong saja bagaimana,dok?"
"Itu jauh lebih baik, agar segera sembuh"
"Saya ompong saja deh dok...sampai gusi saya sembuh"
"Eh, tidak malu?"
Meskipun saya bekerja di bagian pelayanan kekayaan negara dan lelang,
saya tidak khawatir gigi ompong depan saya ini mengganggu kinerja saya.
Saya juga tidak akan pakai masker jika hanya untuk menutupi kekurangan
gigi saya. Masker justru hanya membuat jarak antara saya dan para stake
holders.
Penampilan memang penting tapi kesehatan jauh lebih
penting, apalagi isi otak dan pelayanan prima yang menjadi target
kinerja kami
Mau saya ompong atau tidak, asal kepentingan mereka terlaksana dengan baik maka para stake holders tak akan protes.
Selasa, 04 Februari 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar